Yusuf Mansur: Kebeli Rumah (3)

Loading...

Biar nyambung coba baca dulu bagian satu (Kebeli Rumah (1)) dan dua (Kebeli Rumah 2)

‘‘Mmm, pinginnya yang berkesan natural lah. Saya nggak terlalu suka model kontemporer.’’

‘‘O gitu. Coba kita lihat nanti, ada rumah seperti itu yang mau dijual. Tapi, saya nggak yakin kamu mau.’’

‘‘Boleh, coba kita sekalian liat.’’

Selesai melepas kangen menikmati jajanan khas Solo, sahabat Zul mengajak jalan. Rumah tua uwak Zul mereka sambangi.

‘’Ini rumahnya,’’ ujar Zul ragu-ragu begitu tiba di halaman rumah tua tersebut. Rumah itu model kuno, sudah tua, kurang terawat. Kesannya angker.

Di luar dugaan Zul, Sahabatnya itu seperti terpesona melihatnya. Tampak ia memperhatikan betul setiap sudut hunian tersebut.

Sejurus kemudian, setelah melihat seputar rumah, ia berkata, ‘‘Zul, ini dia rumah yang saya cari. Yang begini ini yang saya suka. Oke, saya cocok yang ini.’’

Zul terkejut. ‘‘Suer? Malah yang begini yang kamu mau. Terus terang, saya tadinya nggak mau nawarin ini karena takut kamunya nggak mau. Eee, malah mau yang ini ya?’’

‘‘Iya Zul, dari dulu saya pengen rumah yang modelnya begini. Yang kuno, natural,’’ kawannya meyakinkan.

‘‘Tapi ya begitu kondisinya. Kalau minat, saya pertemukan dengan yang punya rumah ini,’’ kata Zul. ‘’Kebetulan yang punya Pak Dhe saya,’’ imbuhnya.

‘‘Oh, begitu. Dijual berapa?’’

‘‘Wah, saya nggak tahu. Nanti langsung rembugan saja dengan beliau. Saya cuma membantu menjualkan, tapi nggak yakin ada yang minat.‘’

‘‘Lho, ini rumah keren Zul. Dijual berapa ya?’’

‘‘Wah, nggak tahu. Kita temui Pak Dhe saja?’’ Zul menawarkan.

‘’Di mana rumah beliau?’’

‘’Ya, sejam perjalanan dari sinilah. Nanti malam bisa ketemu beliau.’’

‘’Wah, saya harus segera balik ke Jakarta Zul. Biasa, ada urusan bisnis sedikit,’’ jawab kawannya sambil melihat jam tangan.

‘’Atau begini saja,’’ kata Zul. ‘’Kira-kira berapa harga taksiranmu untuk rumah ini, nanti saya kontak ke Pak Dhe.’’

‘‘Mmmm, budget saya sampai Rp 750 juta, Zul. Bersih ya, sudah termasuk biaya balik nama sertifikat dan lain-lain,’’ kata sahabat Zul.

‘‘OK, sebentar, saya kontak beliau,’’ kata Zul, lalu menelepon Pak Dhe.

‘‘Pak Dhe, rumahnya dijual berapa? Temen saya ada yang mau nih, boleh nggak Rp 750 juta bersih katanya?’’ kata Zul setelah tersambung dengan uwak.

‘‘Wis Zul, Pak Dhe perlu Rp 500 juta aja termasuk biaya surat-menyuratnya, kalau ada lebihnya silahkan buat Zul,’’ jawab Pak Dhe di ujung sinyal.

‘‘Alhamdulillah, jadi boleh ya Pak Dhe?’’ Zul girang.

‘’Iyo, iyo,’’ jawab Pak Dhe.

Zul lalu menyampaikan apa adanya hasil pembicaraan mereka ke sahabatnya. Kawan Zul senang, karena Zul benar-benar berlaku sebagai sahabat. Bukan pedagang, bukan calo pemburu komisi. Inilah salah satu karakter kampung yang dirindukannya, yang sulit ditemuinya di belantara bisnis Ibukota.

‘’OK Zul, sahabatku, Saya akan tetap membayar rumah ini Rp 750 juta. Silakan yang Rp 500 juta buat Pak Dhe mu. Sisanya memang sudah rejekimu,’’ kata dia kepada Zul.

Zul terpana. Seperti mimpi, memperoleh rejeki yang tak disangka-sangka. Ini to yang disebut ar rizqu minhaitsu laa yah tasib.

Dengan modal 250 juta rupiah, Zul mengajak istrinya untuk menanyakan lagi rumah yang dijual Rp 400 juta tempo hari. Alhamdulillah, rumah dimaksud masih bermerek ‘’Dijual’’. Masih ada harapan untuk mendapatkannya, kalau memang rejeki.

‘‘Bu, rumah masih dijual kan?’’ kata Zul setelah bertemu pemilik rumah.

‘‘Ya, masih. Ini malah pengennya buru-buru dijual, soalnya mau dibagi ke anak-anak,’’ tutur ibu itu.

‘‘Oh begitu ya. Bu, saya sekarang punya uang Rp 250 juta. Tapi yang 50 juta mau buat beli perabotan. Boleh nggak rumah ini saya beli Rp 200 juta?’’ tawar Zul.

Setelah saling bercerita kondisi, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing, akhirnya si ibu menyerah juga.

‘‘Ya sudahlah, karena saya butuh buru-buru, Pak Zul juga butuh rumah, yo wis nggak apa-apa saya lepas Rp 200 juta. Tapi cash bersih ya, sebab saya mau segera pindah rumah,’’ katanya.

‘‘Alhamdulillah, ya Bu, langsung cash nih, uangnya saya bawa kok. Saya sudah optimis rumah ini jadi rejeki Kami,’’ sambut Zul dengan gembira.

‘’O begitu, ya syukurlah. Nanti administrasi diurus sendiri ya, saya siapkan dokumennya,’’ kata si ibu.

Masya Allah, hari itu terjadilah transaksi jual-beli rumah yang tadinya bernilai Rp 400 juta, namun akhirnya disepakati pada harga Rp 200 juta saja.

Subhanallah. Allah yang Maha Mengatur semua urusan. Dunia ini ada dalam genggaman Allah sehingga apapun yang menjadi doa, yang menjadi cita-cita hamba-Nya yang percaya, maka Allah begitu mudah mengabulkannya. Allah begitu mudah mengaturnya, mengondisikannya, sehingga kalau sudah rejeki hendak kemana.

Sepertinya kebetulan, ketika Zul mendapat ‘’komisi’’ Rp 250 juta dari penjualan rumah seharga Rp 500 juta, lalu mendapat diskon Rp 200 juta dari pembelian rumah seharga Rp 400 juta.

Tapi dalam kehidupan ini, tidak ada yang namanya kebetulan. Meskipun jalan ceritanya seolah tidak masuk akal, seperti pengalaman Zul. Semua peristiwa dalam kehidupan ini dalam kuasa dan kehendak-Nya. Kalau Allah sudah bilang Kun Fayakuun, maka jadilah apa yang menurut manusia tidak mungkin terjadi.

Tentu saja, syarat dan ketentuan berlaku. Tanpa amalan yang menggetarkan perasaan, tanpa riyadhoh yang kencang, mana mungkin Zul mendapat keajaiban tersebut. (#)

Loading...
close
Loading...