Yusuf Mansur: Kebeli Rumah (2)

Loading...

Biar nyambung coba baca dulu bagian satunya (Kebeli Rumah (1))

‘’Lho, kenapa, Pak Dhe?’’

‘’Sudahlah, ceritanya nanti aja. Kamu ada nggak Rp 10 juta buat saya pakai dulu?’’ ujar Pak Dhe dengan panik.

‘’Ada, ada Pak Dhe,’’ jawab Zul dan istri kompak.

Zul bergegas ke kamarnya dan membongkar uang simpanan sebesar Rp 10 juta tunai di lemari.

‘’Ini Pak Dhe,’’ kata Zul sambil mengangsurkan uang tersebut.

Tanpa banyak cakap lagi, usai menerima uang Pak Dhe langsung ngacir.

Sepeninggal Pak Dhe, Zul dan istri saling berpandangan memelas. Seperti mimpi, mereka melepas begitu saja Rp 10 juta yang sedianya buat uang muka rumah. Tidak ada jaminan uang akan dikembalikan. Ikhlas sih ikhlas membantu saudara, tapi perasaan manusiawi mereka ya gimanaaa gitu.

“Ya sudahlah, mungkin Allah punya kehendak lain. Takdirnya uang itu memang untuk membantu Pak Dhe, bukan untuk membeli rumah kita. Serahkan saja ke Allah gimana soal rumah kita nanti,” Zul menghibur diri dan istri tercintanya. “Ya Mas, saya ikhlas kok,” sahut istrinya.

Subhanallah, keikhlasan Zul dan istrinya tentang uang 10 juta tadi seolah justru menjadi energi baru buat keluarga ini agar semakin dekat dengan Allah, agar semakin mengharap hanya kepada Allah. Keinginan untuk bisa membeli rumah tetap menjadi doa agar Allah yang menyempurnakan keinginannya.

Setelah beberapa minggu, datang lagi uwaknya dengan wajah yang sudah tidak segelisah kemarin.

‘‘Zul…,’’ sapanya.

‘‘Eeeee… Pak Dhe. Pripun Pak Dhe, sudah cerah nih?’’

‘‘Iya, alhamdulillah. Makasih ya kemarin sudah dibantu. Kalau nggak, wah, bisa-bisa Pak Dhe masuk penjara.’’

‘‘Emang kenapa Pak Dhe?’’

‘‘Iya, jadi kemarin itu Pak Dhe lagi dikejar-kejar utang, sampai mau dilaporkan ke polisi. Alhamdulillah sekarang sudah beres. Terima kasih ya Zul udah bantu Pak Dhe,’’ ungkap uwak Zul.

‘‘Sama-sama Pak Dhe, kan memang kita hidup untuk saling menolong.’’

Sejurus kemudian, tanpa ditagih Pak Dhe berkata

‘‘Zul, Pak Dhe belum punya uang untuk ngembaliin yang kemarin. Tapi Pak Dhe punya rumah tua dan cukup besar, tolong rumah itu jualin ya, kali aja ada temen yang mau beli. Kalau laku nanti langsung saya kembalikan uangmu,’’ tutur Pak Dhe.

‘‘O gitu, nggih Pak Dhe, siap, nanti kalau ada yang berminat saya bantu jual,’’ jawab Zul sigap.

Namun dalam hati, Zul agak pesimis rumah tua akan cepat terjual. Karena itu, ia belum merasa perlu bertanya berapa harganya, berapa ukuran luas tanah dan bangunan. Yang penting, Zul tahu dulu lokasinya di mana. Kalau ada yang minat, barulah ia pertemukan dengan uwaknya.

Beberapa hari kemudian, sahabat Zul yang sudah lama nggak ketemu, menelponnya dari Jakarta.

‘‘Zul, apa kabar?’’ serunya di ujung sambungan ponsel.

‘‘Alhamdulillah, baik. Antum gitu juga kan?’’ balas Zul.

‘‘Iya, alhamdulillah, udah lama kita nggak ketemu nih.’’

‘‘Iya, kemana aja Kamu? Masih di Jakarta?’’

‘‘Masih Zul, tapi aku sudah bosen tinggal di Jakarta, mau balik ke Solo saja. Bisa tolong bantu cariin rumah nggak?’’

‘‘Serius nih?’’ tantang Zul.

‘’Iya Zul, serius.’’

‘’Boleh kalau gitu, nanti saya carikan. Kapan ke Solo?’’

‘‘Minggu depan deh.’’

‘‘Oke, saya tunggu ya.’’

Pekan berikutnya, sesuai janji, sahabat lama itu datang ke Solo untuk berburu rumah.

Sebelumnya, Zul sudah punya beberapa tawaran, termasuk coba menunjukkan rumah tua milik uwaknya.

‘‘Sudah dapat rumah yang mau dijual Zul?’’ tanya sahabat dari Jakarta dengan bersemangat.

‘‘Ada dua-tiga pilihan, nanti kita survey aja,’’ sahut Zul.

‘‘Okey, siiip lah,’’ kawan Zul yang pengusaha itu girang. Ia kelahiran Solo, namun katanya keluarganya sudah hijrah semua. Makanya minta bantuan Zul mencari rumah.

Mereka lalu melihat-lihat rumah yang akan dijual tersebut, dengan kriteria sesuai pesanan. Zul mengantarkan ke tiga rumah bercorak minimalis yang berlainan lokasinya. Namun, ia sengaja tidak menunjukkan rumah tua uwaknya. Zul pikir, sahabatnya nggak bakalan suka rumah tua alias rumah kuno.

Ternyata, tak satupun rumah target yang kena di hati sahabat Zul. Harganya sih nggak jadi masalah, tapi bentuk dan luas bangunan nggak ada yang cocok.

Setelah lelah ngubek Kota Solo tanpa hasil, sore harinya mereka istirahat di sebuah warung lesehan di pinggir jalan.

‘‘Zul,’’ kata sahabat sambil menyeruput minumannya. ‘’rumahnya bagus-bagus, tapi belum ada yang cocok nih dengan seleraku.’’

‘‘Nggak apa-apa, nah maunya yang gimana ya?’’ balas Zul. (bersambung)

Baca selanjutnya (Kebeli Rumah 3)

Loading...
close
Loading...